Oleh: Hamdan Suhaemi
Melihat fenomena akuisisi nasab dan trah yang dilakukan oleh klan Ba’lawi disertai klaim makam-makam yang dianggap Bani Alawiyyin itu, nalar ini tidak bisa diam. Ada yang gelisah memikirkan soal ini. Ada tantangan besar yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa depannya, apa itu ? yaitu akan terjadi kehilangan jati diri dan identitas, ketika jati diri leluhurnya dihapus dan dibelokkan milik orang lain.
Ada perilaku-perilaku orang klan Ba’lawi yang melakukan ini dengan dasar Ahistoris, ngawur dan menipu. Pencakokan pada figur sejarah yang diklaim sebagai bagian dari klan Ba’lawi ini adalah perilaku berengsek dan barbar meski cara halus. Karena masyarakat kita sangat ta’dhiman wa takriman ketika telinganya mendengar dzuriyat Rosul, atau darahnya Rosul. Kuwalat, hilang barokah jadi senjata mereka dalam upaya mempengaruhi dan menipu masyarakat awam.
Banyak kasus di beberapa tempat soal pencakokan nasab, pengalihan jalur silisilah, dan penamaan figur yang menyejarah bagian dari klan Ba’lawi sungguh membuat kita marah, bahkan protes keras. Nalar kita yang terbiasa mengkaji sejarah terpancing untuk ikut merespon fenomena tersebut.
Mari kita bertahan pada prinsip sejarah, lihat juga pada sumbernya. Agar kita terhindar dari pola-pola pembelokan sejarah. Lihat pada sumber tertulis, ini sumber sejarah yang diperoleh melalui peninggalan-peninggalan tertulis, catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau, misalnya prasasti, dokumen, naskah, piagam, babad, surat kabar, tambo (catatan tahunan dari Cina), dan rekaman. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer (dokumen) dan sumber sekunder (buku perpustakaan).
Kita pun perlu kroscek dan wawancara ulang pada sumber lisan, dari saksi sejarah atau keterangan langsung dari para pelaku atau saksi mata dariperistiwa yang terjadi di masa lampau. Misalnya, seorang anggota Legiun VeteranRepublik Indonesia (LVRI) yang pernah ikut Serangan Umum menceritakan peristiwa yang dialami kepada orang lain, apa yang dialami dan dilihat serta yang dilakukannya merupakan penuturan lisan (sumber lisan) yang dapat dipakai untuk bahan penelitian sejarah. Dapat juga berupa penuturan masyarakat di sekitar kota Yogyakarta saat 1 Maret 1949 yang ikut menyaksikan Serangan Umum tersebut, penuturannya juga dapat dikategorikan sebagai sumber lisan. Jika sumber lisan berupa cerita rakyat (folklore), maka perlu dicermati kebenarannya sebab penuh dengan berbagai mitos ( Moh. Ali : 47-48 ).
Menurut Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah, penelitian sejarah memiliki lima tahapan yang saling berhubungan. Kelima tahapan tersebut adalah pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik), intepretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan).
Dari beberapa petunjuk ahli seperti yang saya tulis di atas, menjadi cara kita yang awam agar bisa mengenali problem narasi pembelokan dan pencakokan nasab yang dilakukan oleh oknum-oknum dari klan Ba’lawi dan atau dari pihak manapun. Kita konsisten untuk mendudukkan sejarah Indonesia pada fakta yang benar, dan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.
Identitas bangsa Indonesia saat ini tengah dipertaruhkan, maka perlawanan adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, siapapun orangnya, dan dari klan apapun, sejarah akan selalu dimiliki oleh kebenaran sejarah itu sendiri. Kita pun tidak diajarkan tunduk pada penghianatan.
Serang 24 Oktober 2023