Kamis, Januari 23, 2025
Google search engine
BerandaHikmahBelajar Memahami Tuhan

Belajar Memahami Tuhan

Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi

Tuhan sebagai objek bahasan sebenarnya terlalu tinggi dan kajian tentang Tuhan tentu memerlukan ruang dan waktu yang sangat luas. Tak cukup tuntas sekalipun dengan berjilid-jilid buku. Kajian Tuhan adalah terbuka bagi para penganut agama manapun karena sifatnya aqliyah (rasional) dan naqliyah (firman Tuhan) meski nalar keduanya sanggup mengantarkan kepada pemahaman.

Kemudian membedahnya itu sama pula dengan membedah perasaan orang beragama. Jika kita jujur untuk melepas dari ego iman kita tentunya akan semakin objektif mengenali dan memahami arti Tuhan, namun sebaliknya kalau sudah bersikap subjektif pembahasan Tuhan akan terlihat dari satu sisi yakni satu agama. Maka yang terjadi klaim kebenaran masing-masing penganut agama akan muncul dan tentunya menggagalkan sikap objektifitas pemahaman atas Tuhan yang sama-sama kita sembah.

Dalam cakupan tulisan singkat ini sebenarnya ingin sekali mengajak kepada pembaca bahwa memahami dan mengenali eksistensi Tuhan tidak terhenti di posisi “percaya”. percaya yang didasari taklid tapi meningkat di posisi percaya yang didasari taslim (mengakui konsep Tuhan dari ulama yang pakar dibidang ketuhanan). Jelas tujuan dalam tulisan singkat ini menuntun pada pemahaman atas Tuhan dengan perspektif teolog Islam. Dalam tulisan singkat ini pun telah dibatasi dengan hanya membahas ke-esa-an Tuhan (Wahdaniyyat Allah).

Memahami wahdaniyat( keesaan) dalam terminologi ilmu kalam atau tauhid dari banyak pengertian tentang wahdaniyyat perpektif ulama sunny seperti dalam Tijan al-Daruri, Kifayat al- Awwam, Jauhar al-Tauhid, Husunu al-Hamidiyah, al-Sanusiyah, Fathu Al Majid dan yang terpuncak pada buku al-Dasuqi Ummu al-Barohini, kesemuanya mengartikan wahdaniyyat sebagai صفة قديمة قاءمة بذات الله dengan arti harfiyyah-nya adalah tunggal.

Menarik untuk dicermati ketika istilah wahdaniyat menjadi fokus bahasan tauhid karena ia merupakan sifat yang wajib ada di diri Allah, wahdaniyat untuk seterusnya telah menjadi wilayah pertikaian pemahaman para pengkaji ketuhanan. Di titik inilah penganut agama tak bertemu dalam kesamaan.Wahdaniyat seakan menjadi kajian khusus Islam dan menjadi diskurusus dalam lapangan ilmu kalam dan filsafat Tuhan.

Dalam hal ini kita mengetengahkan konsep Kam Muttashil dan Kam Munfashil sebagai bagain dari uraian tentang wahdaniyat.Ini sebenarnya jika diuji sekalipun secara reseachakan selalu mengarah pada kesimpulan bahwa Tuhan itu esa, pengujian secara ilmiah dan secara filsafat hampir pula dipastikan mengarah kepada keyakinan kuat bahwa Tuhan sebenarnya satu. Keesaan Tuhan (wahdaniyat) dalam perspektif agama ardli sekalipun, dalam kaitan ini keyakinan terhadap Tuhan yang maha besar (grand of God) selalu ada di ruang (space) keimanan para penganut agama tersebut.

Dalam kajian ilmu kalam, uraian wahdaniyat punya konsepnya tersendiri yang tentunya tak akan dipunyai oleh agama lain. Kam Muttashil sebagai segmen pemahaman kesesaaan Tuhan dengan uraian bahwa Tuhan sendiri secara struktur Dzat Muthlak (zat mutlak) yang tak tercampuri oleh unsur zat manapun yang bagian dari elemen-elemen penyusun alam raya, Tuhan secara dzatiyah adalah satu, berdiri sendiri.

Sedangkan uraian Kam Munfashil sebagai segmen pemahaman keesaan Tuhan yang kedua diartikan bahwa Tuhan yang secara dzatiyah menjadi Dzat Muthlak yang yang tak terstruktur seperti tangan, wajah, kaki dan anggota struktur tubuh makhluk yang berprinsip baru, dalam Kam Munfashil keesaan Tuhan dimaknai sebagai Tuhan yang terbebas dari struktur-struktur yang bersifat baru yang menjadi ciri khas makhluk seperti hewan, manusia, setan, jin dan malaikat. Keterbebasan ini menjadi hal yang pasti di diri Tuhan yang tunggal.Satu yang tak berstruktur dan satu yang tak tercampuri dalam sendirinya unsur-unsur yang bersifat baru dan bagian dari unsur alam atau makhluk di alam.

Dua konsepsi tentang wahdaniyat Tuhan dalam kajian kalam sangat jarang ditemukan dalam perspektif agama-agama lainnya. Jikapun ada tentunya secara naratif akan mengarah kepada penolakan karena karakteristik pemahaman kajian ketuhanan berakhir kepada segmen ta’arrudl (bertentangan satu sama lainya). Bukan kapasitasnya dalam penulisan ini men-devaluasi atau mereduksi keyakinan agama tertentu hanya karena pembahasan ini menjadi fokus pembahsan wahdaniyat dalam perspektif Islam.

Kita concern bahwa uraian tentang wahdaniyat ingin mengarahkan kepada pemahaman yang benar di internal Islam, sementara kita pun memahami bahwasanya keesaan Tuhan secara lintas agama akan mengarah kepada multi tafsir dan multi makna.

Ibrahim Al Dasuqi, menjadi yang sendiri dengan kualitas pemahamannya yang sangat mendalam mampu mengartikulasi wahdaniyatTuhan dengan menguarai sebuah ide teologis tentangzat Tuhan dengan penggunaan episteme-episteme seperti kam muttashil ( كم متصل ) dan kam munfashil ( كم منفصل ).

Dalam menyikapi hal ini kita banyak menelaah uraian-uraian dari Ulama ahli ilmu Kalam yang mencoba menerjemahkan maksud penggunaan istilah kam muttashil dankam munfashil dengan beberapa pendekatan. Ada penedekatan itu menggunakan ilmu manthiq (ilmu logika) ada pula yang menggunakan prangkat ilmu untuk pemamahan dua istilah tersebut dengan menggunakan pendekatan sufistik, artinya dalam sufisme dikenal dengan pendekatan suluk yang merupakan bagian dari amaliyah toreqot (kegiatan tarekat).

Suluk dalam tarekat bertujuan menemukan kesejatian paham dan pengertian yang hakiki dan ada dalam kesejatian kebenaran. Ini pula yang ditempuh kaum sufi dalam memahami Tuhan-nya sebagai subject oriented, dalam pandangan mereka hidup hanya dari Tuhan, dengan Tuhan dan kepada Tuhan (min Allah, bi Allah, ila Allah) konsep sederhana prilaku sufi ini tentu tak bisa dibedah dengan kesimpulan bahwa pemahaman sufi jelas berbeda dengan logika formil manusia.

Sufi bukan sekedar pengkaji Tuhan semata melainkan sampai tahapan pencinta Tuhan dengan mengenal secara khusus, mereka dianugrahi ilmu ladunni yang kita kenal sebagai ilmu ma’rifat yang semua sufi pasti memilikinya, jika sang sufi sudah meng-atas maqomat-nya. Kekuatan melihatnya sufi terhadap Tuhan jelas membedakan sisi melihat yang dipunyai para pemikir, agamawan, dan kaum teolog lainnya.

Maka dalam uraian singkat ini sebenaranya ingin sekali mengajak bahwa Tuhan yang kita kaji ini terlalu besar untuk ditutup dengan kesimpulan hanya dengan urian diatas, melainkan pembahasan Tuhan seperti wilayah yang tak bertepi, seperti samudera yang tak berbatas, seperti kedalaman palung yang tak menyentuh, dan seperti langit yang tak berujung. Keesaan Tuhan milik tuhan yang esa, tak diawali dan tak berakhir untuk selama-lamanya.

BERITA TERKAIT

TULIS KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

POPULER

komentar